Sentra budidaya udang vaname di Kelurahan Limbangan Wetan, Brebes ini bisa dibilang merupakan salah satu sentra yang terbesar di Jawa Tengah setelah Kendal, Tegal, dan Jepara. Sebagian besar masyarakat Brebes memang bermata pencaharian sebagai petani tambak dan nelayan. Beberapa komoditas andalan kota ini seperti bawang merah, telur bebek asin, ikan bandeng, rumput laut, udang vaname, dan juga garam.
Tidak hanya masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Limbangan Wetan, beberapa masyarakat di beberapa kelurahan lain seperti di Kelurahan Limbang Kulon dan Gandasuli juga ikut dalam kelompok pembudidaya udang vaname.
Baharuddin, pembudidaya udang vaname yang juga sebagai ketua kelompok budidaya Sampang Tigo bilang, hampir setiap hari pembudidaya harus memeriksa kolam. Kegiatan rutin yang dikerjakan para petani tambak misalnya harus memastikan kondisi kincir berjalan dengan baik agar aliran oksigen ke kolam berjalan lancar, serta memberikan pakan udang dengan plankton.
Meski terdapat lebih dari 100 kolam di kawasan ini, namun belum semua kolam tambak sudah dibudidayakan secara intensif. Seperti kata Munawar, anggota kelompok Muncul Jaya bilang, dari total 50 kolam di kelompoknya, hanya 23 kolam yang sudah menjalankan teknik budidaya secara intensif. Sisanya masih kolam budidaya tradisional dan semi intensif.
Hal ini karena budidaya intensif perlu biaya yang besar. Petani harus menyiapkan genset, kincir, vitamin, bakteri pengurai, serta kolam yang kemiringannya harus disesuaikan agar tidak tergantung pasang surut air laut. "Kalau intensif kita harus siapkan modal lebih dulu, sehingga harus bertahap," kata dia.
Baharuddin bilang, sampai saat ini kendala yang dia hadapi adalah tidak ada saluran listrik di daerahnya. Sehingga untuk menggerakkan kincir di kolam harus menggunakan genset. Baharuddin dan kawan-kawannya sering mengajukan permintaan pemasangan listrik ke PLN setempat, namun saat ini belum ada respon positif yang mereka terima.
Alhasil, biaya operasional sangat tinggi. Dalam tiga hari saja, Baharuddin bisa menghabiskan sekitar 80 liter solar untuk memutar kincir di empat kolam tambaknya. "Jika ada listrik, tentu saya tidak perlu membeli solar setiap hari, sehingga pendapatan bersih bisa lebih besar," kata dia.
Agar masalah kincir tidak terganggu, petani udang lain biasanya mengumpulkan dana patungan sebesar Rp 5 juta per bulan untuk biaya bahan bakar genset. Hal ini dirasakan petani sangat memberatkan. Belum lagi jika BBM sedang langka, semua jadi berantakan. Mereka berharap Dinas Kelautan dan Perikanan bisa mendesak PLN agar memasang jaringan listrik di kelurahan ini terutama untuk tambak-tambak udang. n
(Selesai)
sumber : kontan.co.id