Target peningkatan produksi perikanan budidaya pada 2015 sebesar 17,9 juta ton, merupakan suatu tantangan yang harus dicapai dan juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas produksi. Selain produksi yang mampu memenuhi permintaan pasar, harus ditunjang dengan kualitas yang mampu bersaing di pasar regional maupun pasar global.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto, menegaskan hal ini perlu dilakukan Indonesia dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN (MEA).
"Program Pembangunan Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan, salah satunya adalah mendorong produk perikanan budidaya untuk meningkatkan kualitasnya, salah satunya adalah produk yang berkualitas dan aman dikonsumsi, tanpa mengandung residu antibiotik dan bahan kimia yang dilarang," ujarnya usai membuka secara resmi Temu Koordinasi Teknis Pengendalian Residu Nasional di Yogyakarta.
Slamet menambahkan bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas produk perikanan budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) telah berhasil melakukan pengendalian residu dan sekaligus melakukan monitoring penggunaan residu pada usaha budidaya.
Hal ini terbukti sejak 2011, Indonesia dimasukkan oleh Uni Eropa ke dalam daftar negara-negara yang diperbolehkan mengekspor produk perikanan budidaya ke Uni Eropa melalui Commission Decision 2011/163/EU. Ini membuktikan bahwa Perencanaan Monitoring Residu Nasional (National Residue Monitoring Plan-NRMP) perikanan budidaya Indonesia telah dinilai setara dengan standard Uni Eropa sebagaimana dinyatakan oleh Director of Food and Veterinary, European Commission melalui suratnya No Ref. Ares(2013)2797352, Tanggal 31/07/2013.
"Ini juga membuktikan bahwa produk perikanan budidaya Indonesia telah bebas dari residu. Kondisi ini harus terus dipertahankan antara lain melalui koordinasi yang berkelanjutan dan semakin baik diantara pihak terkait (stakeholders) dalam pelaksanaan monitoring residu, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta," tambah Slamet.
Slamet menekankan bahwa prestasi ini bukan merupakan akhir atau tujuan pengendalian residu nasional. Tugas berat ke depan adalah bagaimana mempertahankan prestasi yang sudah dicapai dalam monitoring residu sebagai bagian dari penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan budidaya.
Penerapan NRMP yang telah ditetapkan, lanjutnya, harus dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya melalui kerjasama antara Tim Monitoring Residu Daerah dengan Tim Monitoring Residu Pusat terutama dalam mendapatkan sampel sesuai ketentuan yang diatur dalam Council Directive Uni Eropa, CD 96/23 yang menetapkan bahwa setiap 100 (seratus) ton produksi perikanan budidaya harus dilakukan pengambilan sampel minimal sebanyak 1 (satu) sampel untuk diuji kandungan residunya.
"Kami sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah daerah maupun swasta dalam melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan pengambilan sampel ini," papar Slamet.
Pemerintah juga berjanji akan terus mendorong penambahan laboratorium uji untuk melaksanakan pengujian sampel yang telah diambil. Saat ini ada 10 laboratorium di mana 4 laboratorium dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) DJPB (BBPBAT Sukabumi, BPBAP Situbondo, BBPBAP Jepara, dan BBPBL Lampung), 3 Laboratorium swasta (PT. Mutu Agung Lestari, PT. SGS, dan PT. Engler), dan 3 UPT Dinas Provinsi (DKI dan Jawa Timur).
"Ke depan jumlah laboratorium ini perlu di tambah, mengingat semakin banyaknya sampel uji yang akan di ambil, seiring dengan peningkatan produksi perikanan budidaya. Untuk itu, UPT lingkup DJPB yang sudah siap harus mendaftarkan diri menjadi anggota laboratorium uji ini," imbuh Slamet.
Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa pengujian dan pemeriksaan sample residu juga perlu dilakukan untuk ikan-ikan yang dipasarkan dan di konsumsi di dalam negeri. "Produk perikanan budidaya, selain untuk menambah devisa melalui ekspor, diperlukan juga untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan keamanan pangan, pengujian sample residu terhadap produk perikanan budidaya yang dikonsumsi di dalam negeri juga harus dilakukan. Jangan hanya untuk produk ekspor saja," tutur Slamet.
sumber : merdeka.com